Mendampingi Bukan Mencaci*

  • April 10, 2018
  • By sarahmtv.blogapot.com
  • 0 Comments

Hingga kini, masih banyak
orang yang melaknat atau
bahkan mencaci teman-teman
penyuka sesama jenis
tanpa memberi
solusi yang berarti.
(Foto: lifestyle.allwomenstalk.com)
“Bu, saya sudah coba hidup normal menjadi laki-laki dengan shalat berjamaah di Masjid, tapi begitu saya masuk barisan shaf, mereka malah menjauhi saya,” cerita salah seorang pasien dr. Dewi Inong Irana, Sp.KK., kepada dokter Spesialis Kulit dan Kelamin yang kerap disapa Bunda Inong ini.
Seperti yang dituturkan dr. Dewi Inong pada akhir tahun 2014 di sebuah acara seminar di Auditorium RSPAD Gatot Subroto, pasiennya tersebut adalah seorang yang awalnya waria, akhirnya karena masih mendapat stigma negatif dari masyarakat yang enggan menerima hijrahnya, ia pun menyerah dan kembali hidup menjadi waria.
Stigma negatif tersebut sama halnya saat seseorang ingin konsultasi tatap muka dengan Psikiater di Rumah Sakit Jiwa. Masyarakat pasti sudah punya dugaan buruk jika orang yang ke Rumah Sakit Jiwa adalah orang yang punya gangguan kejiwaan atau orang gila, padahal tidak mesti orang gila yang datang ke sana.
Salah satu kondisi itulah yang akhirnya menggerakkan saya dan teman-teman untuk mendirikan Yayasan Peduli Sahabat, lembaga pendampingan non pemerintah khusus teman-teman penyuka sesama jenis yang kami sebut klien SSA (Same Sex Attraction), sekaligus pula mengedukasi masyarakat untuk menghilangkan stigma negatif pada mereka yang hijrah dan berdiri pada 14 Maret 2015 lalu.
Terlepas bagaimana pro-kontra pada LGBT, ada perbedaan antara LGBT dan para teman-teman SSA yang ingin dan sudah hijrah. Para LGBT kebanyakan sudah mengakui dirinya “normal” dan akan melakukan segala cara agar diakui identitas seksualnya, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk hijrah atau kembali ke fitrah.
Berbeda halnya dengan Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI), sebagaimana dilansir kompas.com, pernah mengeluarkan pernyataan bahwa orientasi seksual homoseksual dan biseksual sebagai orang dengan masalah kejiwaan (ODMK).
Melalui dr. Danardi Sosrosumihardjo, Sp.KJ., pada tanggal 19 Februari 2018 lalu PDSKJI menyampaikan, ODMK ialah orang yang mempunyai masalah fisik, mental dan sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko atau rentan mengalami gangguan jiwa. Homoseksual (Lesbian dan Gay) dan Biseksual masuk dalam kelompok ODMK.
Sementara, transeksualitas merupakan gangguan identitas jenis kelamin berupa hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya dan ingin mendapat terapi hormon dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan.
Kelompok transeksual ini menurut para dokter spesialis kesehatan jiwa disebut sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
ODGJ diartikan sebagai seseorang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala dan atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai manusia.
Menurut Danardi, pernyataan PDSKJI tersebut berpedoman pada UU No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa dan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ)-III.
Sedangkan para teman-teman SSA mengakui dirinya “tidak sesuai fitrahnya sebagai laki-laki dan perempuan” dan punya niat maupun kemauan sendiri untuk kembali ke fitrah, untuk hijrah. Kebanyakan dari mereka malah membenci perilaku LGBT dan tidak ingin hidup menjadi LGBT. Orang-orang seperti ini tidak hanya satu-dua saja, namun sudah ratusan lebih banyaknya.
Koran Seputar Indonesia (Sindo) pada 26 Januari 2018 lalu memuat rilis survey dari Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), sebanyak 87,6 persen masyarakat merasa terancam hidupnya dengan adanya LGBT, padahal ada kelompok minoritas LGBT, siapa lagi kalau bukan teman-teman SSA kami.
Teman-teman SSA inilah yang disebut Wakil dari Kementerian Kesehatan, Dr. dr. Fidiansjah sebagai LGBT distonik yaitu penyuka sesama jenis yang merasa tidak nyaman dengan masalah kejiwaannya. Orang-orang seperti inilah yang harus didampingi karena terancam dibully, tidak hanya oleh masyarakat namun oleh kelompok atau pasangan sejenisnya sendiri.
Kepada teman-teman SSA, kami tidak hanya sekedar mendampingi, namun juga memotivasi dan mengedukasi, mereka mendatangi kami tidak dalam kondisi paksaan atau ancaman tetapi atas dorongan pribadi, itulah kenapa kami punya tagline “We help people who need us, we don’t look for people who don’t”, kami hanya mendampingi mereka yang membutuhkan kami.
Saya dan teman-teman juga tidak pernah memberikan harapan akan kesembuhan, karena yang punya hak prerogatif kesembuhan hanya Tuhan bukan? Manusia hanya diminta berdoa dan berusaha sebanyak-banyaknya dan sekali lagi tugas kami hanya mendampingi mereka.
Lalu jika muncul pertanyaan, apakah Indonesia akan bebas dari LGBT? Jawaban saya tidak, tinggal bagaimana kita menyikapi mereka, apakah akan terus melaknat dan mencacinya atau mendampinginya sebagai saudara yang perlu ditolong oleh kita.

*tulisan ini mendapat Juara 3 Lomba Tulis Artikel tentang LGBT di akun penatajam.com pada Februari lalu.

You Might Also Like

0 komentar